Saya tidak akan membahas kata yang baku menurut KBBI seperti yang telah diutarakan oleh Daeng Khrisna Pabichara di blognya Dusun Kata atau di acara Gempita Bulan Bahasa (http://dusunkata.blogdetik.com/) yang membahas tentang salah guna kata dalam berbahasa indonesia, karena saya bukan ahlinya seperti beliau.
Di sini, saya akan mencoba melihat sisi lain tentang potret dari kegiatan pembagian daging kurban itu sendiri.
Serentak pemotongan dan pembagian daging kurban dimulai pada hari Minggu, 06 November 2011. Praktik kurban juga secara tersirat memperlihatkan sebuah pengorbanan sebagai ikrar pengabdian kepada-Nya. Sedangkan secara syariat, kurban itu diwujudkan dalam bentuk penyembelihan hewan yang dagingnya dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
Dalam kurban, seseorang sejatinya tidak hanya tulus menyembelih hewan secara fisik, tapi juga menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat pada diri para pelakunya. Sifat kebinatangan yang kerap muncul dalam bentuk penindasan hak-hak asasi terhadap sesamanya, misalnya, dapat saja muncul pada siapa pun. Tidak hanya pada penguasa yang dipandang memiliki potensi lebih besar menindas rakyat, tapi juga pada rakyat yang sering tidak sanggup mengendalikan kebebasan sehingga berakibat lahirnya penindasan pada kekuasaan.
Pada pelaksanaannya kurban banyak menimbulkan korban, bukan secara fisik saja tetapi secara akidahpun banyak yang menjadi korban kemunafikan dan kepentingan lainnya yang sama sekali tidak mencerminkan arti kurban itu sendiri.
Maraknya pejabat publik dan partai politik yang berlomba-lomba membagikan hewan kurban saat perayaan Idul Adha, agar dapat simpati dari masyarakat dengan publikasi yang berlebihan agar namanya di ketahui banyak orang. Inilah salah satu bentuk kurban yang menjadi korban dari kesombongannya sendiri (motivasi berkurban dengan tujuan lain).
Korban lainnya yang terjadi di Kota Sukabumi Jawa Barat adalah terbakarnya empat warga di Kampung Ciandam RT 04 RW 06 Kelurahan Cibeureum Hilir, Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi. Warga setempat terbakar saat mengolah daging kambing menjadi sate. Kedua korban kritis yakni Muhammad Fardan (2) dan Muhammad Razab (7) harus mendapat perawatan intensif di RSUD R Syamsudin. Seluruh muka korban hangus terbakar dan terkelupas. Sedangkan ibu Fardan, Rika Kartika (30) dan kakek Fardan, Meman (55) kedua tangannya melepuh. Musibah ini berawal saat kakek Fardan, Meman menghidupkan bara api dengan media arang. Dia hendak membuat sate tepat di depan halaman rumahnya. Untuk membuat bara api dari arang ini cukup ceroboh yakni menyiramkan minyak tanah plus tiner ke pembakaran sate sehingga api menyambar menyambar ke sekelilingnya
Yang tidak kalah menarik adalah pelaksanaan kurban di Masjid Istiqlal Jakarta yang berlangsung ricuh. Kejadian ini bukan hal yang pertama terjadi, hampir tiap tahun terjadi. Hal seperti ini tidak pernah dievaluasi oleh penyelenggara atau panitia kurban, sehingga kejadian akan terus berulang.
Dan hal lain yang menarik perhatian saya adalah, ternyata masyarakat lebih membutuhkan uang dari pada sekedar mendapatkan bagian daging kurban. Tidak sedikit di antara mereka yang menjual daging kurban yang didapatnya dengan susah payah kepada para penadah dengan harga sekitar Rp. 25.000,00 s.d. 35.000,00 perkilonya.
Tidak sedikit hewan kurban yang ditemukan mengandung cacing hati, kurban menjadi korban (sesuatu banget).
Yah, begitulah kurban menjadi korban.
Kamis, 17 November 2011
Langganan:
Postingan (Atom)